Peluang dan Kehidupan
Aku mengayuh sepeda tua warisan dari ayahku melewati sejajaran gedung-gedung tua berbahan batu bata merah yang semakin lapuk termakan usia di pinggir jalan yang sama tuanya. Udara pagi membelai kulitku yang pucat karena kedinginan meskipun aku sudah membebat seluruh tubuhku dengan mantel yang tebal. Di keranjang depan terdapat dua lusin koran yang siap kuantar ke kompleks perumahan tiga blok di depanku. Senin pagi ini sudah menjadi tugasku untuk bekerja sebagai loper koran.
Hidup di tengah Kota London yang keras dengan orangtua yang tidak lengkap bukanlah kehidupan yang ingin kujalani. Aku berusaha menjalani kehidupan senormal mungkin. Aku tinggal hanya bersama ayahku dan saudara perempuanku, Anne. Takdirku tidak seberuntung anak-anak bangsawan yang pada jam segini tengah menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Bukannya aku tidak ingin sekolah, tapi biayalah yang menekanku. Aku pergi ke sekolah umum di sebuah bangunan bekas balai pertemuan yang sudah tak terpakai lagi di pinggir Padwell Street No. 18B setiap jam tiga sore. Pengajarnya adalah sekelompok pemuda yang secara sukarela mengajari anak-anak jalanan tanpa imbalan apapun, namun terkadang beberapa ibu yang baik hati memberi mereka sejumlah makanan ataupun minuman gratis.
Sampai di Blok Green House aku melemparkan koran ke depan pintu setiap rumah di blok ini. Beberapa ibu rumah tangga tengah menyiram tanaman hias mereka dengan santai. Terkadang aku menyapa mereka dan mendapat balasan senyuman, namun tidak jarang ada yang mengabaikanku. Mrs. Farah Stephenson melambaikan tangan kanannya mengisyaratkan agar aku berhenti sebentar di depan rumahnya.
“Bagaimana kabarmu James?” tanyanya dengan senyuman yang ramah. Beberapa lipatan terbentuk di pipinya saat sedang tersenyum. Rambutnya yang mulai memutih mengembang dengan potogan pendek sebahunya. Ia masih mengenakan baju tidurnya saat sedang ngobrol denganku.
“Tak pernah lebih baik dari ini, Mrs. Stephenson,”
“Apakah kau belajar dengan baik, sayang?”
“Ya, tentu saja. Buku-buku yang kau berikan sangat membantu, Mrs. Stephenson. Aku sangat berterima kasih,”
“Ah lupakan saja, itu Cuma buku-buku tua. Apakah kau sudah membaca bagian tentang peluang?”
“Ya, aku baru saja mempelajarinya kemarin sore bersama teman-teman di sekolah umum”
“Wah, itu bagus sekali. Kalau begitu, aku punya pertanyaan untukmu. Tiga orang sedang mengerjakan sebuah soal yang sama. Setiap orang mempunyai peluang yang bisa menyelesaikan soal itu, yaitu 1/3. Apabila mereka mengerjakannya bersama-sama, berapa besar peluang jika paling sedikit seorang saja yang bisa menyelesaikan soal itu? Jika kau bisa menjawabnya dengan benar, aku akan memberimu sebuah buku pelajaran kimia tua milik anakku, bagaimana James? Kau bisa?”
“Wah, hebat sekali Mrs. Stephenson! Aku akan menghitungnya dulu!” Mataku berbinar membayangkan imbalan yang bisa kuterima jika menjawab soal ini dengan benar. Aku mengeluarkan sebuah nota kecil yang bersampul hitam kumal yang kudapatkan di pasar loak dan sebuah pensil. Tiga menit kemudian, aku berhasil mendapatkan jawabannya.
“Jawabannya adalah 19/27 Mrs. Stephenson, apakah jawabanku benar?”
“Hmm, jawabanmu benar James. Tapi aku penasaran, bagaimana kau menghitungnya?”
“mudah saja Mrs. Stephenson, jika setiap orang mempunyai peluang yang sama bisa mengerjakannya yaitu 1/3, maka peluang tiap orang tidak bisa mengerjakannya juga sama, yaitu 2/3. Dari situ aku menghitung peluang yang mungkin terjadi, anggap saja ketiga orang itu adalah A, B, dan C. Ada delapan peluang yang mungkin terjadi, yaitu A B C (A bisa, B bisa, C bisa) / semuanya bisa mengerjakan, A B C (A tidak bisa, B bisa, C bisa), A B C (A bisa, B tidak bisa, C bisa), A B C (A bisa, B bisa, C tidak bisa), A B C (A bisa, B tidak bisa, C tidak bisa), A B C (A tidak bisa, B bisa, C tidak bisa), A B C (A tidak bisa, B tidak bisa, C bisa), dan peluang yang terakhir adalah A B C (A tidak bisa, B tidak bisa, C tidak bisa) / tidak ada yang bisa mengerjakan. Dari penjelasanmu Mrs. Stephenson, setidaknya paling sedikit ada satu orang yang bisa mengerjakan, jadi untuk mempercepat aku mencari komplemennya saja, yaitu tidak ada yang bisa mengerjakan, dan peluang tidak bisa mengerjakan yaitu 2/3. Peluang ketiganya tidak bisa mengerjakan adalah 2/3 x 2/3 x 2/3 , hasilnya adalah 8/27. Untuk mendapatkan hasil yang benar, aku harus melakukan operasi 1 – 8/27 = 19/27. kenapa harus 1? Sebab jika semua peluang di atas dijumlahkan, hasilnya adalah satu.”
“Demi Tuhan, kau cerdas James! Tunggu sebentar, akan kuambilkan bukunya.” Mrs. Stephenson melangkah panjang ke dalam rumah dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
“Bagaimana kabarmu James?” tanyanya dengan senyuman yang ramah. Beberapa lipatan terbentuk di pipinya saat sedang tersenyum. Rambutnya yang mulai memutih mengembang dengan potogan pendek sebahunya. Ia masih mengenakan baju tidurnya saat sedang ngobrol denganku.
“Tak pernah lebih baik dari ini, Mrs. Stephenson,”
“Apakah kau belajar dengan baik, sayang?”
“Ya, tentu saja. Buku-buku yang kau berikan sangat membantu, Mrs. Stephenson. Aku sangat berterima kasih,”
“Ah lupakan saja, itu Cuma buku-buku tua. Apakah kau sudah membaca bagian tentang peluang?”
“Ya, aku baru saja mempelajarinya kemarin sore bersama teman-teman di sekolah umum”
“Wah, itu bagus sekali. Kalau begitu, aku punya pertanyaan untukmu. Tiga orang sedang mengerjakan sebuah soal yang sama. Setiap orang mempunyai peluang yang bisa menyelesaikan soal itu, yaitu 1/3. Apabila mereka mengerjakannya bersama-sama, berapa besar peluang jika paling sedikit seorang saja yang bisa menyelesaikan soal itu? Jika kau bisa menjawabnya dengan benar, aku akan memberimu sebuah buku pelajaran kimia tua milik anakku, bagaimana James? Kau bisa?”
“Wah, hebat sekali Mrs. Stephenson! Aku akan menghitungnya dulu!” Mataku berbinar membayangkan imbalan yang bisa kuterima jika menjawab soal ini dengan benar. Aku mengeluarkan sebuah nota kecil yang bersampul hitam kumal yang kudapatkan di pasar loak dan sebuah pensil. Tiga menit kemudian, aku berhasil mendapatkan jawabannya.
“Jawabannya adalah 19/27 Mrs. Stephenson, apakah jawabanku benar?”
“Hmm, jawabanmu benar James. Tapi aku penasaran, bagaimana kau menghitungnya?”
“mudah saja Mrs. Stephenson, jika setiap orang mempunyai peluang yang sama bisa mengerjakannya yaitu 1/3, maka peluang tiap orang tidak bisa mengerjakannya juga sama, yaitu 2/3. Dari situ aku menghitung peluang yang mungkin terjadi, anggap saja ketiga orang itu adalah A, B, dan C. Ada delapan peluang yang mungkin terjadi, yaitu A B C (A bisa, B bisa, C bisa) / semuanya bisa mengerjakan, A B C (A tidak bisa, B bisa, C bisa), A B C (A bisa, B tidak bisa, C bisa), A B C (A bisa, B bisa, C tidak bisa), A B C (A bisa, B tidak bisa, C tidak bisa), A B C (A tidak bisa, B bisa, C tidak bisa), A B C (A tidak bisa, B tidak bisa, C bisa), dan peluang yang terakhir adalah A B C (A tidak bisa, B tidak bisa, C tidak bisa) / tidak ada yang bisa mengerjakan. Dari penjelasanmu Mrs. Stephenson, setidaknya paling sedikit ada satu orang yang bisa mengerjakan, jadi untuk mempercepat aku mencari komplemennya saja, yaitu tidak ada yang bisa mengerjakan, dan peluang tidak bisa mengerjakan yaitu 2/3. Peluang ketiganya tidak bisa mengerjakan adalah 2/3 x 2/3 x 2/3 , hasilnya adalah 8/27. Untuk mendapatkan hasil yang benar, aku harus melakukan operasi 1 – 8/27 = 19/27. kenapa harus 1? Sebab jika semua peluang di atas dijumlahkan, hasilnya adalah satu.”
“Demi Tuhan, kau cerdas James! Tunggu sebentar, akan kuambilkan bukunya.” Mrs. Stephenson melangkah panjang ke dalam rumah dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah buku tua bersampul kertas cokelat yang telah usang. Di sampul itu tertera tulisan ‘milik Wayne Stephenson, kelas 1 SMU Bradford’, di tangan satunya terdapat sebotol susu putih segar yang aku tak tahu untuk siapa.
“Ini James, ambillah. Ambil juga susu ini, anggap saja sebagai bonus karena kau belajar dengan giat. Oh ya, sampaikan juga salamku untuk ayah dan adikmu ya,” Mrs. Stephenson memberikan buku itu beserta susunya. Kemudian ia membelai rambutku dengan kasih sayang, aku merasa senang sekali. Sebuah perlakuan yang tak pernah aku dapatkan dari ibuku yang sudah meninggal sejak aku masih kecil. Aku tersenyum gembira dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Mrs. Stephenson. Setelah itu, aku pamit untuk melanjutkan tugasku mengantarkan koran. Mrs. Stephenson tersenyum hangat menemani kepergianku dari depan rumahnya.
“Ini James, ambillah. Ambil juga susu ini, anggap saja sebagai bonus karena kau belajar dengan giat. Oh ya, sampaikan juga salamku untuk ayah dan adikmu ya,” Mrs. Stephenson memberikan buku itu beserta susunya. Kemudian ia membelai rambutku dengan kasih sayang, aku merasa senang sekali. Sebuah perlakuan yang tak pernah aku dapatkan dari ibuku yang sudah meninggal sejak aku masih kecil. Aku tersenyum gembira dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Mrs. Stephenson. Setelah itu, aku pamit untuk melanjutkan tugasku mengantarkan koran. Mrs. Stephenson tersenyum hangat menemani kepergianku dari depan rumahnya.
Aku yakin, setiap orang diciptakan dengan membawa peluang berhasil dan gagal yang seimbang, yaitu setengah. Semakin sering kau berusaha dan belajar dari kegagalan, maka peluang keberhasilanmu akan semakin besar.
Cerpen Karangan: Ita Sulistiani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar